Denyut
perayaan HUT RI ke-68 masih kita rasakan sampai H+2 hari ini. Ribuan bendera
dan pernak pernik merah putih masih bisa kita lihat menghiasi jalan-jalan,
rumah, toko, perkantoran dan fasilitas umum. Tahun ini nampaknya lebih rame
dibandingkan tahun yang lalu. Tentu saja hal ini sesuatu yang sangat positif.
Mudah-mudahan berkelanjutan untuk tahun-tahun mendatang.
Pagi
tadi saya sempat ‘lirik-lirik” isi berita pada harian pagi terbitan daerah.
Masih banyak liputan tentang kemeriahan tujuhbelasan.
Saya juga sempat baca ‘hadiah jalan-jalan” buat Tim Paskibraka Prov Bali ke luar daerah. Saya dengar pula
Paskibraka di kota saya, Gianyar, juga dapat hadiah yang sama.
Tentu
saja saya setuju, kalau daerah punya uang dan anggaran untuk itu tersedia,
sudah sepantasnya mereka mendapatkan hal tersebut. Berminggu-minggu bahkan
mungkin sebulan penuh, setelah proses seleksi mereka digembleng, pagi, siang
sore untuk mengemban tugas mulia ini. Untuk
memudahkan koordinasi (pengawasan) & mendapatkan hasil (penampilan)
yang prima mereka juga dikarantina, ditempatkan di tempat yang sangat layak (hotel).
Saya
jadi teringat tatkala masih SMA dulu, ketika kelas dua, betul-betul bergairah menyiapkan
diri untuk mengikuti seleksi Paskibraka nasional. Saya benar-benar optimis, punya dua modal besar: dari sekolah favorit dan punya prestasi (SMAN 1 Gianyar), juga sebagai Pramuka aktif (ketua ambalan Dharma Wangsa). Namun Dewi Fortuna sepertinya kurang
berpihak, ternyata saat itu seleksi tingkat kabupaten ditiadakan, pakai sistim
penunjukkan (ke salah satau SMA lain langsung berkompetisi di Denpasar). Kenapa
seleksi di kabupaten ditiadakan? Pasalnya setiap seleksi di kabupaten, selalu
siswa (pramuka) di sekolah kami yang lolos. Jadi tahun tersebut pemkab
mengambil kebijakan seperti itu. Akhirnya saya sudah ‘kalah sebelum bertanding’
Toh
saya selalu bersyukur, karena tahun tersebut untuk Paskibraka di kabupaten
ditunjuklah SMA kami. Dibawah gemblengan dari KORAMIL, saya diberi kepercayaan
sebagai salah satu tim pengibar bendera.
Saya masih ingat, dari 3 orang pengibar bendera, saya berada diposisi kanan sebagai pengerek tali bendera. Ada yang menarik,
salah satu tim Paskibraka saat itu adalah siswa asing (Australia) yang
mengikuti pertukaran pelajar. Lupa namanya (John Kelly ?). Seandainya Pemkab
Gianyar ‘rapi menyimpan file’, mungkin peristiwa tersebut masih bisa kami liat
lewat ‘foto’.
Ini
kisah ‘lampau”, tahun 1983, wow… sudah 20 tahun yang lalu. Tahun terus
merambat, zaman telah berubah.
Saya
sangat memaklumi perubahan zaman tersebut. kami tim Paskibraka menyiapkan
sendiri baju putih lengan panjang dan celana putih, juga ikat pinggang dan
sepatu hitam. Saat itu paskibraka kabupaten tidak menggunakan jas paskibraka
seperti sekarang ini. Kami hanya dapat pembagian peci hitam dengan pin Garuda
Pancasila dan scarf merah, yang
setelah upacara selesai harus dibalikkin lagi, ha..ha…
Setiap
hari kami berangkat menuju lapangan Astina Gianyar dari sekolah atau rumah
masing-masing, pulang juga sendiri-sendiri, tidak ada pemondokan. Teman-teman
saya ada yang berasal dari Blahbatuh, Sukawati dan Ubud. Baru sekarang saya
berfikir, bagaimana kalau salah satu dari kami ada yang tiba-tiba sakit atau
kecelakaan di jalan, bagaimana cara penggantian yang cepat, karena memang tidak
disiapkan cadangan. Syukur kehadapan TYME, kami bisa melakukan tugas ini dengan
baik (walaupun saat upacara penurunan bendera, diguyur hujan, karena basah
bendera sempat lengket di tiang bendera).
Kalau
dibandingkan dengan Paskibraka ‘zaman kekinian’ memang terasa kurang adil, tapi
kalau kami bandingkan lagi dengan ‘perjoeangan’ pendahulu Republik ini, betapa hebatnya mereka melawan hambatan & keterbatasan. Dan apa yang kami lakukan saat itu, sungguh sangat menyenangkan…
DIRGAHAYU
NEGERIKU….INDONESIA !!!
(maafkan kami, belum bisa berbuat banyak untukmu...)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar