Kamis, 27 Juni 2013

Monumen Kebo Iwa di Kota Gianyar di Mata Saya

Mengenal nama tokoh Kebo Iwa  awalnya dari ceritera nenek saya waktu kecil. Niyang  demikian saya biasa manggil nenek,  suka berceritera atau mendongeng menjelang tidur di sebuah bilik di Bale Delod.

Ceritera Niyang tidak jauh berbeda dengan informasi yang saya dapatkan setelah sekolah & ‘tua’ seperti sekarang baik dari guru-guru di sekolah, atau ceritera sendratari yang pernah saya tonton. Tentang kisah hidup salah satu Patih Kerajaan Bali (sekitar abad 14, pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit), yang akhirnya gugur ‘diperdaya’ Maha Patih Gajah Mada, demi bersatu dan jayanya Nusantara.

Sesungguhnya saya ingin juga  mencari sumber-sumber ceritera ini dari data ‘primer’ (naskah-naskah kuno). Mudah-mudahan suatu saat bisa terwujud.

Sabtu, 29 Oktober 2011 (dalam kalender Masehi) atau pada hari Saniscara, Kliwon, Wayang , bertepatan dengan Tumpek Wayang (sesuai kalender Jawa / Bali). Sebuah monument berupa patung besar perwujudan Patih Kebo Iwa diresmikan oleh Bupati Gianyar kala itu (Tjok Ace), di Jl. By Pass Mandara Giri, Buruan, Gianyar.

Sebagai warga atau masyarakat Gianyar tentu saja saya setuju dan mendukung terwujudnya  monumen ini. Disamping untuk mempercantik kota, sekaligus juga  memberi pesan implisit bahwa  monumen dan patung-patung seni yang bertebaran di Kota Gianyar dan sekitarnya  adalah  representasi masyarakat Gianyar yang dikenal sebagai Kota Seni. Apresiasi masyarakat & pemerintah terhadap Kebo Iwa & spirit kejujuran, kepahlawanan dan kenegarawanan (Nusantara) adalah alasan lainnya.

Pemerintah bersama ‘para ahli sejarah kuno’, seniman patung,  tentu sudah berusaha memvisualkan tokoh ini. Bagi saya memang sulit mewujudkan tokoh yang wujud aslinya belum pernah dilihat, hanya melalui diskripsi dalam ceritera saja.

Tanpa bermaksud mengecilkan arti dan upaya yang telah luar biasa dilakukan oleh pemerintah daerah dan yang terkait, izinkan saya ‘menilai’ Monumen Patung Kebo Iwa dari mata saya.

Fisik dan anatomi:
Walaupun Kebo Iwa telah diwujudkan dengan ‘atletis’, saya pikir tokoh ini visualnya masih  tergolong  ‘ kurus’. Harusnya lebih ‘siteng’, dengan otot-otot dada, lengan yang lebih gempal & otot bahu & leher yang lebih kokoh. Bukankah dalam ceritera Kebo Iwa digambarkan sebagai ‘teruna’ yang tinggi, besar & kuat?

Ragam Hias & Busana:
Dalam memvisualkan ornament hias / ragam hias yang melekat dalam tubuh tokoh (termasuk busana yang dikenakan) pada masa lalu (abad ke-14) tentulah harus sesuai dengan zamannya. Tidak kurang referensi ‘artefak’ ragam hias peninggalan zaman Majapahit yang masih bisa kita amati sekarang (sebagai referensi).

Tokoh Kebo Iwa dalam visual monumen yang saya lihat tidaklah jauh beda dengan busana & hiasan ‘pertunjukkan sendratari’ zaman kini. Apakah seorang Patih Bali (kuno) memang berbusana seperti itu ? Harusnya lebih ‘humble’. Saya pernah liat foto-foto tokoh-tokoh patih kerajaan Bali pada zaman yang jauh lebih muda (kerajaan Karangasem & Gianyar, abad 18-19) yang mana secara 'teknologi' berbusana seharusnya lebih 'maju', tetapi malah tidak semeriah Tokoh Kebo Iwa yang berada pada zaman jauh sebelumnya.


Tujuan penulisan ini hanya didorong oleh keinginan melihat Patih Kebo Iwa sebagai tokoh  sejarah Bali Kuno yang pernah ada dan hidup, bukan tokoh yang 'dikarang-karang' atau khayalan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar