Mengenal nama tokoh Kebo Iwa awalnya dari ceritera nenek saya waktu kecil.
Niyang demikian saya biasa manggil
nenek, suka berceritera atau mendongeng
menjelang tidur di sebuah bilik di Bale Delod.
Ceritera Niyang tidak jauh
berbeda dengan informasi yang saya dapatkan setelah sekolah & ‘tua’ seperti
sekarang baik dari guru-guru di sekolah, atau ceritera sendratari yang pernah
saya tonton. Tentang kisah hidup salah satu Patih Kerajaan Bali (sekitar abad 14,
pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit), yang akhirnya gugur ‘diperdaya’ Maha
Patih Gajah Mada, demi bersatu dan jayanya Nusantara.
Sesungguhnya saya ingin juga mencari sumber-sumber ceritera ini dari data
‘primer’ (naskah-naskah kuno). Mudah-mudahan suatu saat bisa terwujud.
Sabtu, 29 Oktober 2011 (dalam
kalender Masehi) atau pada hari Saniscara, Kliwon, Wayang , bertepatan dengan
Tumpek Wayang (sesuai kalender Jawa / Bali). Sebuah monument berupa patung
besar perwujudan Patih Kebo Iwa diresmikan oleh Bupati Gianyar kala itu (Tjok Ace), di
Jl. By Pass Mandara Giri, Buruan, Gianyar.
Sebagai warga atau masyarakat
Gianyar tentu saja saya setuju dan mendukung terwujudnya monumen ini. Disamping untuk mempercantik kota, sekaligus juga memberi pesan
implisit bahwa monumen dan patung-patung
seni yang bertebaran di Kota Gianyar dan sekitarnya adalah representasi masyarakat Gianyar yang dikenal
sebagai Kota Seni. Apresiasi masyarakat & pemerintah terhadap Kebo Iwa
& spirit kejujuran, kepahlawanan dan kenegarawanan (Nusantara) adalah alasan lainnya.
Pemerintah bersama ‘para ahli
sejarah kuno’, seniman patung, tentu
sudah berusaha memvisualkan tokoh ini. Bagi saya memang sulit mewujudkan tokoh
yang wujud aslinya belum pernah dilihat, hanya melalui diskripsi dalam ceritera
saja.
Tanpa bermaksud mengecilkan arti
dan upaya yang telah luar biasa dilakukan oleh pemerintah daerah dan yang
terkait, izinkan saya ‘menilai’ Monumen Patung Kebo Iwa dari mata saya.
Fisik dan anatomi:
Walaupun Kebo Iwa telah diwujudkan dengan ‘atletis’, saya
pikir tokoh ini visualnya masih
tergolong ‘ kurus’. Harusnya
lebih ‘siteng’, dengan otot-otot dada, lengan yang lebih gempal & otot bahu
& leher yang lebih kokoh. Bukankah dalam ceritera Kebo Iwa digambarkan
sebagai ‘teruna’ yang tinggi, besar & kuat?
Ragam Hias & Busana:
Dalam memvisualkan ornament hias / ragam hias yang
melekat dalam tubuh tokoh (termasuk busana yang dikenakan) pada masa lalu (abad
ke-14) tentulah harus sesuai dengan zamannya. Tidak kurang referensi ‘artefak’
ragam hias peninggalan zaman Majapahit yang masih bisa kita amati sekarang
(sebagai referensi).
Tokoh Kebo Iwa dalam visual monumen yang saya lihat tidaklah jauh beda dengan busana & hiasan ‘pertunjukkan sendratari’ zaman kini.
Apakah seorang Patih Bali (kuno) memang berbusana seperti itu ? Harusnya lebih
‘humble’. Saya pernah liat foto-foto tokoh-tokoh patih kerajaan Bali pada zaman
yang jauh lebih muda (kerajaan Karangasem & Gianyar, abad 18-19) yang mana
secara 'teknologi' berbusana seharusnya lebih 'maju', tetapi malah tidak semeriah Tokoh Kebo Iwa yang berada pada zaman jauh sebelumnya.
Tujuan penulisan ini hanya didorong oleh keinginan melihat Patih Kebo
Iwa sebagai tokoh sejarah Bali Kuno yang pernah ada dan hidup, bukan tokoh yang 'dikarang-karang' atau khayalan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar